JAKARTA, Liputan Indonesia - Perilaku Percontohan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mengusir wartawan di Balai Kota pada Kamis 15 Juni 2016 dianggap perbuatan yang melampaui batas dan tidak patut jadi panutan rakyat, karena perbuatan tersebut tidak pantas dilakukan oleh seorang Gubernur.
“Perilaku Ahok tidak pantas jadi panutan rakyat, itu dapat digolongkan sebagai perbuatan arogan dan melanggar UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, dan bisa dapat diancam pidana paling lama dua tahun atau denda Rp500 juta. Apalagi ini sudah beberapa kali terjadi, sudah keterlaluan,” kata wartawan senior Teguh Santosa dalam jumpa persnya, Jumat (17/6/2016).
PWI turut bicara dalam perwakilannya, Teguh yang menjabat sebagai salah satu Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu mengatakan, pertanyaan yang diajukan wartawan merupakan bentuk cermin pertanyaan yang berkembang di tengah masyarakat.
Selain itu, pertanyaan tersebut sebagai bentuk mengkonfirmasi kebenaran terkait informasi yang disampaikan politisi PDI Perjuangan Junimart Girsang atas dugaan adanya aliran dana sebesar Rp30 miliar ke organisasi masyarakat (ormas) Teman Ahok.
Menurut Teguh, tindakan mengusir dan melarang wartawan yang meliput di Balai Kota sebagai tempat Kantor Dinas Ahok sehari-hari bekerja adalah sebuah kecerobohan dan patut disesalkan.
Dalam kejaian ini, juga bisa dianggap sebagai tindakan menghalang-halangi wartawan mencari informasi yang bermanfaat bagi publik.
Teguh ancam dengan Pasal 4 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa, pertama, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kedua, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Ketiga, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Serta keempat, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Adapun ancaman pidana penjara dan denda khususnya terhadap pelanggaran Pasal 4 ayat (2) dan (3) disebutkan dalam Pasal 18 undang-undang yang sama.
Daripada mengumbar emosi yang meledak-ledak, menurut Teguh, apabila merasa dirugikan, Ahok bisa mengajukan keberatan lewat koridor yang disediakan oleh UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Menurut Teguh, kemarahan Ahok yang berlebihan justru memperbesar kecurigaan publik mengenai dana tidak wajar yang mengalir untuk kelompok pendukung Ahok.
“Sebagai pejabat publik, Ahok semestinya bisa menjaga tutur kata dan tingkah laku di depan umum. Jangan arogan dan memberi kesan anti kritik. Itu ciri pemimpin otoriter,” katanya lagi.
Teguh menyarankan Ahok untuk mempelajari cara Presiden Joko Widodo berinteraksi dengan insan pers. Presiden Jokowi, sebutnya, memahami bahwa pers bekerja untuk kepentingan umum, seperti yang dilansir media okezone.com.
“Presiden Jokowi juga memahami bahwa kebebasan pers dibutuhkan untuk menopang sistem demokrasi yang sehat. Ahok semestinya mencamkan hal itu,” tutupnya. (one)