Dokter Beri Konsultasi via Medsos untuk Redakan Kecemasan saat Pandemi

Header Menu


Dokter Beri Konsultasi via Medsos untuk Redakan Kecemasan saat Pandemi

SEO
Sabtu, 04 April 2020


LAWAN KORONA: Dokter Catur saat memberikan pendampingan kepada orang yang memiliki kecemasan berlebih terhadap Covid-19 melalui pelatihan relaksasi dengan cara yang sederhana. (Catur for Jawa Pos).


Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melihat banyak warga yang takut dan cemas berlebihan saat pandemi Covid-19. Padahal, kondisi kejiwaan yang tidak stabil tersebut justru bisa memengaruhi kesehatan. Para dokter itu pun membuka layanan gratis via media sosial. Mereka membantu warga yang mengalami gangguan psikosomatis tersebut.

GALIH ADI PRASETYO, Surabaya - Sudah dua hari belakangan tugas dr Era Catur Prasetya SpKJ bertambah. Ada enam orang yang dia pantau kondisinya. Tidak langsung. Tapi melalui WhatsApp. Mereka merupakan orang-orang yang butuh pendampingan dari ahli kejiwaan.

Catur merupakan salah seorang relawan di program pendampingan psikososial gratis. Layanan tersebut diperuntukkan siapa pun yang terdampak pandemi Covid-19. Pendampingan itu merupakan program yang digagas Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).

Dari PSDKJI Surabaya, ada dua dokter yang menjadi relawan. Yakni, Catur dan rekannya, dr Sista Diahlaksmi SpKJ. Mereka memberikan pendampingan selama pandemi Covid-19 berlangsung. Program itu bisa diakses di Instagram PDKJI @psdkji_indonesia.

Pertama, orang yang hendak meminta pendampingan harus mengirim pesan langsung ke akun itu. Lengkap dengan nama, tempat tinggal, dan nomor telepon. Kemudian, ada psikiater yang bakal menghubungi orang yang mengajukan pendampingan. ’’Program ini dimulai sejak 31 Maret lalu,” ujar dr Damba Bestari SpKJ.

Hingga kini sudah ada lebih dari 50 orang yang mendaftar. Enam di antaranya ditangani Catur. Dengan beragam kondisi kejiwaan. Catur menceritakan, rata-rata pasien yang dia tangani menghadapi kekhawatiran yang berlebihan. Terlalu takut jika tertular. Misalnya, salah seorang warga dari Bangkalan yang dia dampingi.

’’Orang tuanya tinggal di zona merah. Yang membuat dia khawatir, anaknya masih kecil. Saat neneknya datang, selalu berinteraksi dengan buah hatinya. Entah itu dicium atau dipeluk,” ujar alumnus Universitas Airlangga itu.

Hal itu membuatnya risi. Apalagi ada tetangganya yang tiap pekan pulang-pergi ke Malang. Upaya untuk menegur orang tuanya pernah dilakukan. Namun, bukan jawaban memuaskan yang didapatkan.

Kalau sudah begitu, Catur berupaya menenangkan.’’Pasien” diajak relaksasi. Via telepon. Kalau terpaksa, ya via WA. Di antara pasien yang menghubunginya, ada pula yang mengalami kasus yang berat.

Sebut saja Nano. Kondisinya lumayan parah. Usaha bimbingan belajar (bimbel) yang dia jalankan sepi. Padahal, bulan-bulan seperti ini seharusnya malah ramai. Sudah kehabisan solusi dan rasanya ingin menyerah saja. ’’Bahkan, saat menyetir dan lihat truk, dia rasanya ingin menabrakkan diri saja,” paparnya.

Kalau sudah begini, kata Catur, pelapor diminta menghubungi psikiater terdekat. ’’Kami beri siapa dokter di sana yang terdekat. Memang ada yang bisa diselesaikan dari jauh. Namun, ada juga yang perlu penanganan langsung,” ujar dosen Universitas Muhamamdiyah Surabaya tersebut. Memang pendampingan yang dia tangani tidak melulu kecemasan karena takut terpapar Covid-19. Bagi beberapa orang, dampak ekonomi yang dirasakan menjadi beban yang lebih berat. Sampai-sampai tidak bisa mencari solusi yang tepat.

Menurut dia, memang kecemasan dan kekhawatiran itu bisa muncul dari pemikiran yang berlebihan. Misalnya, kasus pasien asal Malang, perempuan itu sangat khawatir jika suaminya harus menggunakan ventilator. Apalagi saat ini mencari alat tersebut juga susah.

Catur mengatakan, ketakutan itu muncul dari banyaknya membaca berita. Mereka mencari berita yang sesuai dengan yang dipikirkan. Pikirannya lalu menyusun informasi itu sehingga mendukung apa yang dia pikirkan selama ini. ’’Pikiran itu kita ciptakan sendiri dan tidak ketemu solusinya,” paparnya.

Kalau sudah begitu, praktis satu-satunya cara adalah dengan merasionalkan apa yang dipikirkan sang pasien. Perlahan diberikan pemahamam. ’’Apa benar yang dipikirkan itu betul-betul terjadi seperti itu? Nah, cara-cara ini yang biasanya manjur untuk mengembalikan kondisi pasien tersebut,’’ jelasnya.

Kondisi kecemasan di tengah pandemi itu muncul karena adanya ketidakapastian. Di antaranya, ambiguitas karena semua orang diberi kesempatan untuk menyampaikan informasi. Lalu, Covid-19 merupakan hal baru bagi semua orang. Terakhir, tidak bisa diprediksi, baik kapan penyelesaiannya maupun persebarannya hingga obatnya yang belum ditemukan.

Lantas, kapan seseorang membutuhkan pendampingan dokter jiwa? Catur mengatakan ketika seseorang itu mulai lelah memikirkan hal tersebut. Kemudian, sampai mengganggu aktivitas sehari-hari. ’’Lantas, muncul pandangan dari orang lain bahwa kondisinya sudah berbeda dari biasanya,” ujar pria yang pernah menjadi pendamping kejiwaan di kamp Rohingnya Bangladesh itu.

Selama menjadi relawan, Catur mengatakan bahwa tugas yang dia terima juga bertambah selain menjadi dokter di salah satu rumah sakit di Lamongan. Karena pendampingan menghubungkan langsung pasien dengan dokter, pasien yang didampingi berada di luar batas waktu.

’’Ada biasanya yang langsung telepon saya saat merasa khawatir atau ada hal-hal yang membuat mereka merasa cemas. Tapi, sebenarnya bukan masalah. Tetap saya berikan yang terbaik untuk membantu mereka di tengah pandemi ini,” jelasnya.

Catur berharap kondisi pandemi ini lekas berlalu…



sumber: Jawapos.com